
Ketika Event Menjadi Ajang Adu Branding di Surabaya...
Seperti yang sudah kita bahas beberapa hari lalu, Surabaya seperti tidak punya waktu hening. Di setiap akhir pekan, ada saja event besar — dari PRJ Jawa Timur, Kepo Market, Coach Café pop-up di Pakuwon Mall, hingga pameran brand lokal di berbagai mall dan creative space. Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya event activation sebagai bagian dari branding strategy.
Tapi di sisi lain, muncul satu pertanyaan penting: apakah Surabaya mulai mengalami kejenuhan event?
Menurut analisis FULLSTOP Branding Agency Indonesia, saat jumlah event meningkat tanpa diferensiasi yang kuat, pastinya audience mulai kehilangan rasa penasaran. Apalagi kalau semua terasa serupa, seperti layout booth mirip, konsep dekorasi klise, hingga gimmick besar seperti tas packaging berukuran jumbo di PRJ yang dulunya viral, kini terasa repetitif karena “semua sudah melakukannya.”
Kenyataan ini bukan berarti event kehilangan daya tarik, tapi justru menjadi cerminan bahwa branding strategy perlu naik kelas. Event tidak bisa lagi sekadar “meramaikan pameran,” tapi harus menjadi perpanjangan karakter brand yang otentik dan relevan.
Ketika Semua Terlihat Sama…
Masalah utama dari banyak event activation saat ini adalah efek template branding. Banyak brand mengikuti formula yang dianggap “aman”, seperti dekor estetik, photo spot lucu, merchandise besar, hingga kolaborasi dengan selebgram. Hasilnya? Pengunjung merasa mereka sedang mengunjungi versi berbeda dari event yang sama.
Padahal, seperti disampaikan oleh FULLSTOP Creative Agency Surabaya, fungsi utama event bukan hanya untuk terlihat ramai, tapi untuk membedakan diri. Kalau semua brand tampil dengan visual dan gaya komunikasi yang serupa, maka audiens tidak lagi membedakan siapa yang siapa.
Di sinilah branding strategy diuji. Ketika perhatian publik terbatas, siapa yang paling berani mengambil sudut pandang berbeda, bukan sekadar paling besar atau paling mencolok. Brand yang hanya berfokus pada gimmick visual, tanpa memperkuat cerita di balik kehadirannya, akan cepat dilupakan begitu pengunjung keluar dari venue.
Bagaimana Menjadi Standout Tanpa Harus Berteriak?
Menonjol di tengah lautan event bukan berarti harus menghabiskan anggaran lebih besar. Justru, strategi yang matang dan relevan sering kali lebih efektif daripada sekadar loud activation.
Berdasarkan insight dari FULLSTOP Branding Agency Indonesia, brand yang berhasil tampil standout biasanya memiliki tiga pendekatan:
Purpose-driven storytelling.
- Brand tahu apa pesan utama yang ingin dibawa ke event, entah itu soal keberlanjutan, kolaborasi komunitas, atau warisan keluarga (family business). Pesan ini diterjemahkan secara konsisten dalam desain booth, aktivitas interaktif, dan komunikasi tim di lapangan.
Interactive experience.
- Pengunjung kini mencari participation, bukan sekadar pemandangan. Booth yang mengajak audiens untuk melakukan sesuatu (seperti mencoba produk, ikut challenge kecil, atau membuat kreasi personal) cenderung diingat lebih lama daripada sekadar spot foto.
Micro-collaboration.
- Tidak semua kolaborasi harus dengan nama besar. Justru, kerja sama dengan komunitas kecil yang otentik bisa membuat event activation terasa lebih dekat dan relevan.
Dengan pendekatan seperti ini, marketing strategy tidak hanya menciptakan virality sesaat, tapi juga membangun hubungan emosional yang lebih dalam.
Catatan Penting & Wajib Diingat!
Salah satu hal yang sering diamati oleh FULLSTOP Creative Agency Surabaya adalah bagaimana brand terlalu sibuk mencari gimmick baru agar “beda,” tapi lupa mengaitkannya dengan identitas brand. Contohnya, banyak brand ikut tren membuat tas besar, balon raksasa, atau dekor berlebihan — padahal semua itu tidak punya hubungan dengan nilai merek mereka.
Branding strategy yang baik tidak diukur dari seberapa viral visualnya, tapi seberapa dalam pesan yang tersampaikan.
Jika brand hanya mengejar “efek wow,” audiens mungkin datang karena penasaran, tapi jarang kembali karena tidak merasa terhubung secara emosional.
FULLSTOP Branding Agency Indonesia menilai bahwa tren “gimmick-heavy event” ini membuat banyak brand kehilangan arah. Padahal, tujuan event activation seharusnya bukan hanya attract attention, tapi retain connection.
Bagaimana Seharusnya Brand Beradaptasi?
Sekarang saatnya bagi brand di Surabaya, baik UMKM, family business, atau big brands, untuk berpikir lebih strategis.
Ketika semua orang berlomba menciptakan visual yang besar, mungkin yang dibutuhkan justru pendekatan yang intimate. Alih-alih fokus pada look, cobalah membangun feel.
Bagaimana agar booth menciptakan suasana yang nyaman untuk ngobrol, bukan sekadar berfoto?
Bagaimana agar tim di lapangan bisa menjelaskan cerita produk dengan cara yang manusiawi, bukan sekadar promosi skrip?
Menurut FULLSTOP Creative Agency Surabaya, brand yang mampu menciptakan momen tulus seperti itu akan meninggalkan kesan lebih kuat dibanding yang hanya memamerkan visual spektakuler.
Event adalah refleksi dari marketing strategy yang dijalankan oleh brand. Kalau strategi hanya berhenti di “menarik perhatian,” maka hasilnya pun berumur pendek. Tapi kalau event activation digunakan sebagai sarana untuk memperdalam identitas dan memperkuat hubungan dengan audiens, maka dampaknya bisa jauh lebih panjang. Itulah sebabnya, FULLSTOP Branding Agency Indonesia selalu menekankan pentingnya sinergi antara branding strategy dan marketing execution. Event bukan sekadar kegiatan promosi, tapi representasi langsung dari siapa brand itu sebenarnya — di hadapan publik, secara nyata.
Penutup: Saatnya Brand Surabaya Naik Kelas
Surabaya saat ini punya ekosistem event yang luar biasa dinamis. Tapi justru karena itu, tantangannya makin besar: bagaimana agar brand tidak tenggelam di antara ribuan visual dan gimmick yang mirip?
Kuncinya bukan di seberapa besar event, tapi seberapa meaningful pengalaman yang diciptakan.
Brand yang bisa menggabungkan marketing strategy yang kuat dengan event activation yang relevan akan terus diingat — bukan karena ukurannya, tapi karena maknanya.
Sebagaimana diyakini oleh FULLSTOP Branding Agency Indonesia, branding strategy terbaik adalah ketika brand berhenti “berteriak paling keras,” dan mulai “didengarkan karena punya makna.”